Menceraikan Senyum

Entah mengapa aku kini ingin menjadi sinis.
Tak peduli kata orang apapun tentangku.
Mungkin sementara menjadi apatis, adalah baik bagiku kini.
Yang aku tak tahu kapan penghabisan sikapku ini.

Mungkin mulai besok aku akan tak begitu mengenal dia, kamu, kalian, atau bisa jadi aku tak akan mengenal diriku sendiri.
Semua harus berubah.
Aku tak ingin dia, kamu, kalian dan bahkan diriku sendiri menganggap kalau aku tak bisa tegas, hanya karena lusinan senyum yang terus merias hari-hariku kemarin.
Maafkan aku 'senyum'.
Sementara kuceraikan dari ragaku.

Namun, jika waktunya nanti akan kupinang 'kau' lagi, dan memintamu bersemayam selamanya tidak hanya di dinding raga, tapi lebih kepada inti jiwa.

Aku bosan.
Jika senyum dibalas masam.
Jika kebaikan dibayar kejahatan.
Cukup rasanya aku diam dan mengamini semua pinta kalian.
Sungguh, sebenarnya aku sulit mengatakan tidak.
Tapi kini, aku harus belajar.
Yah belajar mengetik setiap kehidupanku dengan kata-kata 'tidak'.

Bilakah sisi pahit ini akan berakhir? aku tak tahu pasti.
Tapi, yang pasti aku harus tetap berjalan, walaupun tertatih.
Hingga akhirnya kutemui sosok yang kan menjadikanku terjaga,
dan membisikkan sebuah kata : "Sungguh, aku rindu kamu yang dulu".


Comments

Popular Posts