Refleksi 1 Muharram 1429 H

Baru kemarin rasanya saya berada di tengah hiruk pikuk manusia yang merayakan tahun baru 2008. Tak peduli hujan turun, manusia tetap berkerumun menyambut detik-detik pergantian akhir tahun. Berdasarkan prosentase penduduk berdasarkan agama di indonesia yang nota bene didominasi umat muslim, bisa dipastikan bahwa yang merayakan pesta akhir tahun yang sarat dengan kata-kata mubazzir itupun adalah juga umat muslim. Saat ini tahun baru islam datang, seiring dengan lantunan adzan di seluruh penjuru negeri. Ironisnya, jumlah shaf di masjid-masjid tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Kerumunan seperti yang terlihat 10 hari lalu, tak sedikitpun terlihat. Semuanya serba berbanding terbalik, walaupun ada satu kesamaan yakni lalu lintas tetap padat merayap, itu juga karena banyak yang merencanakan long weekend di luar kota, lagi-lagi bukan untuk merayakan tahun baru islam 1429 Hijriyah.

Fenomena seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan umat muslim. Untuk itu, sebuah rekonstruksi tradisi yang berlandaskan syariat harus mulai dikembangkan dari sekarang. Pribadi dan keluarga merupakan titik awal yang paling menetukan. Karena kalau tidak demikian, sangat memungkinkan kalau beberapa tahun kedepan umat muslim lupa dengan adanya tahun baru islam. Bahkan bukan tidak mungkin, jika suatu saat tahun masehi dan hijriyah berada di hari yang sama, umat muslim akan lebih banyak berada di jalan dari pada di masjid. Lebih banyak mendengarkan musik di panggung konser daripada menghayati alunan kitab suci di surau-surau. Na'udzubillah min dzalik.

Sangat ironis kalau kita kembali mengingat ribuan orang yang sedang terkena berbagai musibah, sementara jutaan orang yang lain terlena di tengah-tengah perayaan tahun baru 2008. Apa yang ada dibenak mereka, ketika ratusan ribu rupiah dikeluarkan hanya untuk selembar tiket masuk ke club, sementara ribuan orang kelaparan dan menggigil menahan dinginnya malam lantaran hujan terus turun dan menenggelamkan rumah-rumah mereka. Tidakkah mereka merasa cukup dengan peringatan yang terjadi. Apakah sederetan musibah seperti Bom Bali, Tsunami, dan Banjir di segenap pelosok nusantara, belum sampai mengetuk inti hati untuk berbuat sebuah kegiatan yang lebih bermanfaat bagi orang banyak.

Kekhawatiran yang patut diperbincangkan jika memang jawabannya adalah 'BENAR'. Yah, benar kalau ternyata saat ini banyak orang yang tidak memiliki human sense. KIAMAT SUDAH DEKAT akan menjadi SEMAKIN DEKAT.

Comments

Popular Posts